Kamis, 23 Februari 2012

HIKMAH KISAH NABI MUSA BELAJAR KEPADA KHIDHIR

[menguak faidah disebalik surat al Kahfi ayat 60-82]

Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi

Sebaik-baik kisah adalah kisah di dalam al Qur’an. Adakah yang lebih indah perkataannya daripada Allah? Jawabannya tentu tidak ada. Karena semua firman-Nya adalah benar adanya, tak terkecuali kisah yang Dia abadikan dalam kitab-Nya, al Qur’an.

Kisah-kisah itu akan selalu memberikan pelajaran tak berkesudahan, semakin dikaji dan dipelajari semakin banyak hikmah dan pelajaran yang bisa didapatkan. Di antara kisah yang memesona kita adalah kisah Nabi Musa yang belajar kepada Khidhir, manusia biasa yang derajatnya di bawah Nabi Musa, karena beliau adalah seorang Nabi, bahkan termasuk salah satu dari Rasul ulul azmi yang lima.

Latar belakang yang membuat Musa belajar lagi, sekalipun beliau adalah seorang Nabi –sebagaimana dalam riwayat Ubay bin Ka’ab, dan tercantum dalam shahih al Bukhari nomor 4725- adalah ketika ada salah seorang dari kaumnya yang bertanya ketika beliau sedang berkhutbah, “Ayyu n-nâsi a’lam, siapakah manusia yang paling berilmu.” Lalu dengan pedenya Nabi menjawab, “Ana, saya.” Kemudian Allah menegurnya karena tidak mengembalikan ilmunya kepada-Nya, dan mewahyukan kepada Nabi Musa bahwa di tempat pertemua dua lautan adalah seorang hamba shalih yang lebih berilmu daripada Nabi Musa.

Akhirnya, Nabi Musa bersama pembantunya, yaitu Yusya’, pergi mengarungi lautan, hanya untuk menambah ilmu yang tidak diketahuinya, sekalipun pada saat itu, posisi beliau sudah menjadi Nabi, dan termasuk Rasul ulul azmi. Adakah kedudukan lagi yang lebih tinggi dari itu?

Kisah perjalanan yang menakjubkan ini pun diabadikan oleh Allah dalam surat al Kahfi ayat 60 sampai 82. Hanya 23 ayat, tetapi pelajaran yang terkandung di dalamnya begitu berharga.

Berikut terjemahan surat al Kahfi ayat 60 sampai 82 tersebut :

18:60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.

18:61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

18:62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.

18:63. Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

18:64. Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

18:65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

18:66. Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

18:67. Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.

18:68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

18:69. Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”.

18:70. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.

18:71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.

18:72. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”

18:73. Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”.

18:74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”.

18:75. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”

18:76. Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.

18:77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.

18:78. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

18:79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

18:80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

18:81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

18:82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”

Faidah dan hikmah kisah Musa belajar kepad Khidhir

Lantas, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah dalam surat al Kahfi ayat 60 sampai 82 di atas? Banyak tentunya, berikut ini beberapa faidah penting yang berhasil penulis dapatkan dari Tafsir Taysir al Karîmi r-Rahmân fi Tafsîri Kalâmi l-Mannân, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir bin as Sa’di, dan ditahqiq oleh Abdurrahman bin Ma’la al Luwayhiq. Faidah-faidah berikut ini adalah terjemahan bebas dari penulis, dan apa yang ada di dalam syawlah, tanda kurung ( [ ] ) adalah komentar dari penulis. Semoga bermanfaat.

Inilah faidah dan hikmah yang terkandung kisah Nabi Musa belajar kepada Khidir‘alaihimas salam :

  1. Memulai dari yang paling penting. Menambah ilmu dan mengajarkan ilmu adalah perkara yang sama-sama penting namun menggabungkan keduanya akan lebih sempurna.
  2. Bolehnya menggunakan khadim (pelayan), baik pada waktu mukim maupun safar, untuk membantu mencukupi kebutuhan.
  3. Bila pemberitahuan kabar bahwa safar yang dimaksudkan untuk mencari ilmu, berjihad atau yang lainnya, itu mengandung maslahat maka hal ini lebih baik daripada menyembunyikannya karena ia akan mempersiapkan perbekalan dan melakukannya berdasarkan ilmu serta menampakkan kemuliaan ibadah yang agung ini sebagaimana perkataan Nabi Musa, { لا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا }
  1. Menisbatkan kejelekan dan sebab-sebabnya kepada syetan yang selalu memoles dan menghias sedemikian rupa walaupun sebenarnya semua adalah takdir Allah Ta’ala. Ini sesuai dengan perkataan pemuda yang menemani Nabi Musa,{ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ }
  1. Seseorang boleh memberitahukan perihal dirinya, baik itu rasa lelah, haus atau lapar selama ia jujur dan tidak menunjukkan perasaan jengkel [dan menggugat takdir Allah]. Ini berdasarkan perkataan Nabi Musa,{ لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا }
  1. Disunahkan untuk mencari pembantu yang cerdas dan pintar sehingga ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
  2. Disunahkan bagi seorang tuan untuk memberikan makanan dari tempat makanannya, dan memakan bersama-sama dengan pembantunya. Karena dhahir dari firman-Nya, { آتِنَا غَدَاءَنَا }, menunjukkan bahwa mereka berdua, Musa dan pembantunya yang bernama Yusya’ makan bersama-sama.
  3. Pertolongan akan turun kepada seorang hamba bila ia sudah melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan kepadanya.
  4. Khidhir bukan seorang Nabi, tetapi hanya sebagai hamba yang shalih karena ia disifati sebagai hamba, dan diberi rahmat dan ilmu oleh Allah Ta’ala. Allah pun tidak menyebutkan risalah dan nubuwah Khidhir. Kalau betul ia seorang Nabi niscaya Allah akan menyebutkannya sebagaimana yang lainnya.
  5. Ucapan Khidhir di akhir kisah, { وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي }, tidak menunjukkan bahwa ia seorang Nabi. Itu hanyalah ilham sebagaimana orang lain selain para Nabi seperti tercantum dalam firman Allah, { وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ } { وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا }
  1. Ilmu yang diajarkan oleh Allah ada dua; ilmu yang didapatkan sesuai dengan usaha manusia, dan ilmu yang berasal langsung dari Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya [seperti firman Allah, “Wattaqullâha wa yu’allimukumullâh, bertakwalah kalian kepada Allah niscaya Dia akan mengajari kalian, maka berlandaskan pada ayat ini, para ulama memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, karena takwa merupakan sarana terpenting mendapatkan ilmu-Nya, tentu ini karena Dia lah yang akan langsung mengajarinya, tanpa perantara].
  2. Adab seseorang yang ingin belajar adalah dengan berkata lembut kepada gurunya. Ini dicontohkan oleh Nabi Musa, { هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا }, Maknanya, Nabi Musa meminta persetujuan Khidhir; apakah beliau diizinkan untuk ikut atau tidak bila beliau ingin belajar darinya.
  1. Ketawadhuan orang yang lebih mulia kepada orang yang berada di bawahnya, karena kedudukan Nabi Musa lebih tinggi daripada Khidhir.
  2. Orang berilmu yang utama hendaknya mempelajari perkara yang tidak dikuasainya kepada ahlinya walaupun ia berderajat di bawahnya. Nabi Musa adalah rasul ulul azmi yang dikaruniai banyak ilmu namun dalam masalah khusus yang hanya diilmui oleh Khidhir, beliau bersemangat untuk mengetahuinya.
  3. Menganggap ilmu sebagai karunia milik Allah dan bersyukur kepada-Nya atas karunia tersebut, Ini sesuai dengan firman-Nya, { تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ }
  4. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menunjukkan kepada kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, { أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا }
  1. Orang yang tidak memiliki kekuatan sabar ketika bersahabat dengan ilmu dan orang yang berilmu akan melenyapkan banyak ilmu. Siapa tidak memiliki kesabaran, ia tak kan pernah mendapat ilmu. Sedangkan orang yang sabar akan mengetahui perkara yang ingin diketahuinya.
  2. Sebab terbesar seseorang bisa sabar adalah ia menguasai ilmu terhadap perintah yang diperintahkan kepada kita untuk bersabar menjalaninya. Kalau dia tidak mengetahui tujuan, buah dan faedahnya maka ia belum mempunyai sebab sabar, sehingga dikatakan,{ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا }, bagaimana kamu bersabar sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya? Jadi, tidak sabar itu ada karena tidak mengilmuinya.
  3. Perintah untuk bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa, serta tidak langsung memvonis sehingga dia mengetahui duduk perkara permasalahan, dan juga tujuannya.
  4. Berkaitan dengan masyi’ah (keinginan) seorang manusia terhadap masalah-masalah yang akan datang, hendaknya ia tidak mengucapkan, “Aku pasti akan melakukannya besok” tapi hendaknya ia berkata, “Insya’Allah” [kita juga belajar hal ini dari kisah ashhabul jannah, pemilik kebun, yang mendapati kebunnya terbakar habis karena niat hati ingin memanen tanpa berucap insyaAllah –lih. Surat al Qalam: 28, “Qâla awsathuhum alam aqul lakum law lâ tusabbihun” makna tusabbihûn dalam ayat ini, menurut Mujahid, as Sudi dan Ibnu Juraij yang disebutkan oleh Ibnu Katshir dalam tafsirnya adalah tastatsnûn,berucap insyaAllah].
  5. Berazzam untuk melakukan sesuatu tidaklah menduduki perbuatan tersebut. Ini terlihat ketika Musa mengatakan, “{ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا }. Dia meyakinkan bahwa dirinya pasti sabar dan tidak bertanya tapi ternyata tidak demikian.
  6. Seorang mu’allim boleh menghentikan muridnya untuk bertanya terlebih dahulu bila ditengarai ada maslahat di sana, seperti pertanyaan yang terlalu detail tentang masalah yang belum saatnya untuk diketahui atau belum bisa dinalar oleh muridnya, atau malah pertanyaanya tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan.
  7. Bolehnya mengarungi lautan, bila yakin aman.
  8. Orang yang terlupa tidak diminta pertanggungjawaban dan tidak dihukum; baik berkaitan dengan hak Allah, apalagi hak manusia berdasarkan firman Allah, { لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ }
  9. Hendaknya seorang manusia memiliki sifat pemaaf dan toleransi antar sesama. Dan tidak membebani manusia di luar kemampuannya, atau pun memberatkan mereka.
  10. Semua perkara itu dihukumi berdasarkan dhahirnya, termasuk urusan duniawi semisal masalah darah, harta, kehormatan dan yang lainnya juga berkaitan erat dengan dhahirnya.
  11. Tentang anak kecil yang dibunuh oleh Khidhir juga mengandung kaidah agung dalam islam, yaitu memilih mafsadat yang lebih ringan. Terbunuhnya anak kecil tersebut adalah sebuah mafsadat; melayangnya nyawa jiwa manusia. Namun kalau dibiarkan hidup hingga dewasa, kelak ia akan memfitnah orang tuanya sehingga mereka murtad. Walaupun seandainya anak tersebut dibiarkan hidup terlihat seolah sebuah kebaikan namun keimanan kedua orang tuanya jauh lebih baik. [kaidah ini merupakan salah satu kaidah fikih terpenting ketika harus memprioritaskan salah satu dari dua pilihan, yaitu “Idzâ ta’âradhat mafsadatâni zûiya a’zhamuhuma dhararan bi r-tikâbi akhaffihima, apabila ada dua kerusakan saling berlawanan maka yang diperhatikan adalah yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan bahayanya”, dan kaidah “Yukhtâru ahwanu sy-syarrain, memilih keburukan yang paling ringan.”, dan juga kaidah, “adh dhararu l-asyaddu yuzâlu bi dh-dharari l-akhaff, bahaya yang lebih berat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan. –terlebih menjaga dien lebih diutamakan daripada menjaga jiwa, dan juga yang lainnya baik akal, nasab (atau kehormatan) dan harta].
  12. Ada kaidah agung, “Mempergunakan harta orang lain itu diperbolehkan bila mengandung maslahat dan menghilangkan mafsadat, walaupun tanpa izin pemiliknya dan itu mengakibatkan hilangnya (atau rusaknya) sebagian harta tersebut.” Sebagaimana yang dilakukan Khidhir ketika ia melobangi perahu orang lain agar tidak dirampas oleh raja yang zhalim. Oleh karenanya ketika ada yang kebakaran, sebagian rumah boleh dirobohkan bila dengan hal itu rumah-rumah yang lain bisa diselamatkan, bahkan ini disyariatkan.
  13. Bekerja di lautan diperbolehkan sebagaimana bekerja di daratan sebagaimana firman-Nya, “Ya’malûna fi l-bahri, Mereka bekerja di lautan.” dan pekerjaan mereka tidak diingkari;
  14. Orang miskin terkadang masih memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhannya. Nama miskin masih melekat padanya karena Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang masih memiliki perahu [dari sinilah, para ulama -semisal Ibnu Qudamah dalam al Mughni-, memberikan definisi tentang perbedaan nama fakir dan miskin. Menurutnya, fakir adalah orang yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan dia tidak mampu memenuhi kebutuhan kesehariannya, berbeda dengan miskin, miskin adalah orang yang masih memiliki pekerjaan tetapi tetap saja ia tidak bisa memenuhi kebutuhan kesehariannya];
  15. Membunuh termasuk dosa besar, berdasarkan firman Allah tentang membunuh seorang anak, “La qad ji’tum syai’an nukran, engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar.”
  16. Orang shalih akan dijaga oleh Allah, begitu pula dirinya dan juga anak cucunya [bahkan para mufassir menyebutkan bahwa kedua anak yatim tersebut adalah keturunan ke tujuh dari orang shalih, dan Allah menyebutkan, “Wa kâna abûhumâ shalihân”, dan sama sekali Allah tidak menyebutkan bahwa kedua anak yatim itu shalih];
  17. Berkhidmat kepada orang-orang shalih atau yang semisal dengan mereka lebih utama daripada selainnya karena ia menjadi sebab harta pusaka dua anak yatim tersebut dikeluarkan dan dinding rumahnya ditegakkan, yaitu karena kedua orang tuanya adalah orang shalih;
  18. Belajar beradab bersama Allah, yaitu dengan menisbatkan kejelekan kepada dirinya sendiri; seperti ucapan khidhir, “{ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا }. Sebaliknya, menisbatkan kebaikan kepada Allah seperti ucapan khidhir, { فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ } , dan ucapan Nabi Musa, “{ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ } , dan ucapan jin, { وَأَنَّا لا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الأرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا } walaupun sebenarnya itu semua adalah takdir Allah Ta’ala.
  19. Seyogyanya bagi seorang sahabat untuk tidak memisahkan diri dari saudaranya ketika ia melakukan sebuah kesalahan. Hendaknya ia bersikap toleran dan memberikan maaf sebagaimana Khidhir memaafkan Nabi Musa;
  20. Persahabatan akan langgeng bila ada kecocokan, sebaliknya, persahabatan akan terputus karena tidak adanya kecocokan;
  21. Tiga kejadian yang dialami Nabi Musa bersama Khidhir adalah murni takdir Allah melalui perantara hamba-Nya yang shalih. Itu semua dimaksudkan untuk mempelihatkan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah Maha Mampu menakdirkan sesuatu yang sangat dibenci manusia namun itu baik bagi diennya seperti halnya kisah ghulam yang dibunuh khidhir, dan Dia juga Maha Mampu menakdirkan sesuatu yang sangat dibenci manusia namun sebenarnya itu baik bagi dunianya seperti halnya kisah perahu yang dilubangi oleh Khidhir. Dua contoh ini menjadi pelajaran berharga agar kita senantiasa ridho dan menerima semua takdir-Nya [karena bagaimanapun, Dia yang lebih mengetahui kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan takdir-Nya adalah pilihan terbaik untuk mereka sekalipun menurut kaca mata manusia hal itu buruk dan sangat menyakitkan. Yakinlah!].

Itulah sekelumit hikmah, faidah dan pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan panjang Nabi Musa yang belajar kepada Khidhir. Rentetan daftar hikmah dan pelajaran itu akan semakin banyak bila kisah itu masih bila berlanjut, maka benar kata Nabi Muhammad,“wadidnâ anna Mûsâ kâna shabar hattâ yaqushshallâhu ‘alayna min khabarihima, kami suka seandainya Musa bersabar hingga Allah mengisahkan kabar keduanya kepada kita.” Wallahu a’lam.

Kota ilmu, Jum’at, 21 Oktober 2011 pukul 14.41 WIB

Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi

Incoming search terms for the article:

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.